Musyawarah Daerah (Musda) Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Lombok Barat yang diselenggarakan di Puri Saron Senggigi menyisakan tanda tanya besar terkait legitimasi dan legalitasnya. Alih-alih menjadi forum tertinggi untuk menyalurkan aspirasi pemuda, Musda tersebut justru menuai kritik karena prosedur dan substansinya dianggap cacat. Fenomena ini menarik dikaji melalui perspektif hukum administrasi, terutama dengan membedakan antara istilah “sah” dan “absah”.
Dalam hukum administrasi, sah merujuk pada aspek formil yaitu apakah suatu tindakan dilakukan oleh pihak yang berwenang, sesuai prosedur, dan mengikuti tata aturan yang berlaku. Sedangkan absah merujuk pada aspek materil yaitu apakah substansi keputusan itu dapat diterima secara hukum, sesuai tujuan organisasi, serta sejalan dengan asas-asas umum.
Jika kita cermati Musda KNPI Lombok Barat, terlihat anomali yang signifikan. Calon ketua sudah ditetapkan jauh sebelum forum musyawarah dimulai. Bahkan, spanduk pelantikan telah memuat foto calon terpilih sebelum proses pemilihan dilakukan. Lebih jauh, acara musyawarah langsung dirangkai dengan pelantikan, seolah-olah hasilnya sudah ditentukan sebelumnya. Secara formil, kegiatan ini bisa saja sah karena melibatkan panitia dan prosedur administratif minimal. Namun, secara substansial, forum ini sulit disebut absah karena telah mengabaikan hakikat musyawarah yaitu wadah deliberasi (baca hebermas) terbuka dan kompetitif bagi organisasi pemuda.
Prinsip Sah dan Absah dalam Hukum Administrasi, setiap tindakan atau keputusan harus didasarkan pada wewenang yang sah dan tujuan yang absah, yakni sejalan dengan asas keadilan, kepatutan, dan kepentingan umum. Jika hanya memenuhi unsur sah tanpa absah, maka keputusan itu berpotensi cacat hukum.
Prinsip ini selaras dengan doktrin hukum administrasi yang menyatakan “keputusan administratif bisa sah secara prosedural namun tidak absah secara substantif”. Itulah yang tampak dalam Musda KNPI Lombok Barat.
Musyawarah yang seharusnya menjadi forum deliberasi pemuda justru berubah menjadi formalitas belaka. Akibatnya, sebagian besar organisasi kepemudaan menolak hasil Musda tersebut dan menyebutnya ilegal.
Implikasi terhadap Legitimasi KNPI
KNPI sejatinya adalah komite yang menghimpun berbagai organisasi kepemudaan dan menjadi corong aspirasi mereka. Jika musyawarah hanya dijadikan legitimasi prosedural tanpa substansi yang absah, maka akan lahir kepemimpinan yang rapuh, minim legitimasi, dan jauh dari semangat representasi. Anomali ini bukan sekadar persoalan internal organisasi, tetapi juga menyangkut kredibilitas KNPI sebagai wadah pemuda di daerah.
Musda KNPI Lombok Barat di Puri Saron Senggigi memperlihatkan jurang antara sah dan absah. Secara prosedural mungkin tampak sah, tetapi secara substansial jelas tidak absah. Hukum administrasi memberi kita pelajaran penting bahwa legalitas formil tidak cukup tapi harus ada legitimasi substantif agar keputusan benar-benar mengikat dan diterima. Tanpa itu, KNPI hanya akan menjadi simbol tanpa ruh, jauh dari perannya sebagai wadah perjuangan pemuda.