Pembangunan Alun-Alun Kota Gerung dengan anggaran mencapai Rp 7,1 miliar kini menjadi isu hangat di tengah masyarakat Lombok Barat. Kami dari Front Mahasiswa Lombok Barat memandang proyek ini bukan hanya soal mempercantik wajah kota, tetapi juga soal prioritas anggaran, keberlanjutan manfaat, dan sejauh mana ruang publik ini benar-benar menjawab kebutuhan rakyat.
Tidak bisa dimungkiri, kehadiran alun-alun akan memberi identitas baru bagi Gerung sebagai ibu kota kabupaten. Selama ini, Gerung lebih dikenal sebagai kota kantor yang sepi selepas jam kerja. Dengan alun-alun, ada peluang tumbuhnya ruang terbuka yang bisa menjadi pusat rekreasi, olahraga, dan aktivitas sosial. Lebih jauh, denyut ekonomi rakyat kecil mulai dari UMKM, pedagang kaki lima, hingga sektor kreatif bisa menemukan ruang hidup baru. Jika dikelola dengan baik, alun-alun bisa menjadi simbol keterbukaan kota sekaligus menumbuhkan kebanggaan masyarakat Lombok Barat.
Namun di balik harapan itu, ada tantangan serius yang tidak boleh diabaikan. Pertama, soal prioritas anggaran. Ketika di beberapa wilayah masih ada jalan desa yang rusak parah, seperti di Dusun Meang, Sekotong, yang sampai membuat warga harus ditandu karena akses jalan tak layak, belum lagi di Dusun Duman Dasan (Desa Duman, Kecamatan Lingsar), warga sampai memblokade jalan rusak sepanjang 2,5 km sebagai bentuk protes. Padahal Infrastruktur jalan ini adalah satu-satunya akses menuju sekolah dasar setempat, rusaknya telah mengancam keselamatan anak-anak saat berangkat sekolah, bahkan sempat berujung pada keguguran seorang ibu hamil.
Ini contoh nyata bagaimana buruknya infrastruktur sektor pendidikan bukan karena bangunan, tetapi akses menuju fasilitas pendidikan itu sendiri.
penggunaan anggaran Rp 7,1 miliar untuk alun-alun bisa dianggap kurang peka terhadap kebutuhan dasar rakyat. Pemerintah daerah harus menjawab, apakah alun-alun benar-benar mendesak, atau sekadar proyek prestise untuk mempercantik pusat kota.
Kedua, masalah keberlanjutan. Banyak contoh di daerah lain, alun-alun yang dibangun dengan biaya besar tidak terkelola dengan baik. Kita bisa melihat Alun-Alun Tastura di Lombok Tengah bukan mangkrak, tetapi meskipun sudah diresmikan, kawasan itu sempat dipenuhi sampah, drainase bermasalah, dan beberapa fasilitas rusak ringan. Hal ini menunjukkan bahwa membangun itu mudah, tetapi merawat jauh lebih sulit. Lebih ekstrem lagi, di Kediri, Jawa Timur, proyek alun-alun senilai Rp 17,9 miliar bahkan sempat mangkrak karena kontraktor gagal menyelesaikan pekerjaan. Kasus-kasus seperti ini harus jadi cermin agar Gerung tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Ketiga, persoalan partisipasi publik. Pembangunan ruang publik seharusnya berbasis aspirasi rakyat. Jika keputusan pembangunan alun-alun lebih didorong dari atas tanpa mendengar suara masyarakat, maka besar risiko ruang itu hanya menjadi simbol elit dan lebih sering dipakai untuk seremonial pejabat ketimbang benar-benar menjadi ruang hidup rakyat kecil.
Bagi kami di Front Mahasiswa Lombok Barat, pembangunan alun-alun tidak bisa serta-merta disebut buruk. Namun, proyek ini harus dikawal dengan serius agar tidak berubah menjadi “hiasan kota” tanpa makna. Pemerintah daerah wajib memastikan alun-alun dikelola secara berkelanjutan, dirawat dengan baik, serta tetap membuka akses bagi rakyat kecil untuk menghidupkan ekonomi. Yang lebih penting, pembangunan alun-alun tidak boleh menyingkirkan kebutuhan dasar rakyat dari infrastruktur desa, layanan pendidikan, hingga kesehatan yang nyata-nyata masih jauh dari cukup.
Rakyat Lombok Barat berhak atas ruang publik yang indah, tetapi lebih dari itu, rakyat juga berhak atas pembangunan yang adil, merata, dan sesuai dengan denyut kebutuhan hidup sehari-hari. Tanpa itu semua, alun-alun Gerung hanya akan menjadi proyek elitis yang dipajang, bukan ruang hidup yang dirasakan manfaatnya oleh rakyat.